Pendapatini memadukan faktor internal dan faktor ekternal.[2] B. Al-Qur'an Sebagai Sumber Ajaran Tasawuf. Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan tentang ayat-ayat al-Qur'an tentang tasawuf, kami akan mengemukakan beberapa definisi al-Qur'an menurut beberapa tokoh: a. Menurut Dr. Muhammad Yusuf Musa: al-Qur'an ialah kitab suci yang Tafsirsufi adalah penafsiran Alquran yang berlainan dengan zahirnya ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat. Dan hal itu dilakukan oleh orang-orang Sufi, orang yang berbudi luhur dan terlatih jiwanya ( Mujahadah ), diberi sinar oleh Allah SWT sehingga dapat menjangkau rahasia-rahasia Alquran. Mereka menafsirkan ayat-ayat Alquran Coraktafsir Al-Quran ini adalah penafsiran al-Quran yang membahas dan menjelaskan ayat-ayat kauniyah. Misalnya Surah An-Nur ayat 43, yang artinya: Corak Tafsir Tasawuf. Corak Tafsir Al-Quran sufi adalah penafsiran al-Qur'an yang di lakukan para kaum sufi, penafsiran semacam ini lebih bersumber pada irfani, yang di peroleh dari ilham Abstract Tasawuf (mysticism) is generally considered as deviation by most of Muslim community itself. One of religious figures who is active in preaching and interesting in Indonesia as well as having a big influence because of this thought is Ki H SS. Ki H SS is able to present the tasawuf teaching based on al Quran verses and Hadist. Ayattentang: Hakikat Islam. Klasifikasi ayat-ayat Al Qur'an yang membahas tentang Hakikat Islam. Terdapat dalam surah, yaitu: 1. Al Fatihah ayat 6-7 2. Al Baqarah ayat 112, 131-132, 135, 142, dan 208 3. Ali Imran ayat 19-20, 51, 67, 85, dan 101 4. An Nisa' ayat 125 5. Al Maidah ayat 16 6. Al An'am ayat 136, 153, dan 161 7. Al A'raf OLEHA SYALABY ICHSAN. Islam sungguh kaya akan nilai-nilai pendidikan. Saat membaca Alquran, kita akan dengan mudah menemukan ayat yang secara tersurat atau tersirat menyuruh kita untuk mempelajari dan merenungi kekuasaan Allah. Ayat pertama yang diwahyukan kepada Rasulullah SAW bahkan secara tersurat berisi perintah untuk membaca. TPGvVrn. Ketika menelusuri berbagai literatur, akan banyak dijumpai pengertian tasawuf yang sangat variatif dengan keragaman pencetus dan penggagasnya. Keragaman varian ini tentu saja bukan menunjukkan kontradiksi antar pengertian tasawuf itu sendiri. Hal itu disebabkan tasawuf pada hakikatnya merupakan pengalaman pribadi seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga kecenderungan dan pengamalan spiritual individu tentu saja berbeda-beda sesuai dengan maqam tasawufnya. Oleh karena itu, wajar apabila setiap orang dalam menjelaskan arti atau definisi tasawuf dalam konteks pemikiran pengalaman keberagamaannya berdasarkan intuisi masing-masing individu dimana kemunculan istilah tasawuf, dan setiap sufi pun memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan kondisi pengalaman yang dialaminya. Makna Tasawuf Secara Umum Namun jika dilihat secara umum makna tasawuf ialah suatu ilmu yang mempelajari tentang cara-cara membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati, mengisinya dengan sifat-sifat terpuji melalui mujahadah dan riyadhah, sehingga merasakan kedekatan dengan Allah dalam hatinya dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya, sehingga dapat tampil sebagai sosok pribadi yang berbudi luhur dan berakhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Lalu apakah pengertian tasawuf itu sendiri dalam perspektif Al-Qur’an ? Tidak ada kata Tasawuf didalam Al-Quran Sedangkan pengertian tasawuf sendiri tidak dikenal dalam Al-Qur’an, maka predikat sufi pun sebenarnya bukan menjadi target ukuran kesalehan. Dalam hal ini beberapa ulama menyamakan sufi dengan wali agar lebih Qurani. Ini masih perlu diperdebatkan, sebab wali ada juga yang berkontasi tinggi, wali thogut, wali syaithan. Akan lebih aman lagi jika term muflihun adalah term yang patut dipopulekan dan dilestarikan karena lebih mencerminkan jiwa Al-Qur’an. Semangat ahl-al-salaf al-Shalih masih terus relevan dengan slogan “back to Al-Qur’an and as-Sunnah”. Istilah lain yang mungkin tepat untuk penamaan tasawuf berdasarkan Al-Qur’an adalah “Ilmu al Qarb”. Diartikan oleh Valiudin sebagai “pengetahuan mengenai pendekatan kepada Allah”. Meskipun kata tasawuf tidak terdapat dalam Al-Qur’an, para tokoh sufi dan juga termasuk dari kalangan cendekiawan muslim memberikan pendapat bahwa sumber utama ajaran tasawuf adalah bersumber dari Al-Qur’an, Karena Al-Qur’an adalah kitab yang di dalamnya ditemukan sejumlah ayat yang berbicara tentang inti ajaran tasawuf. Adapun ajaran-ajaran tasawuf yang terdapat dalam Al-Qur’an seperti ajaran tentang khauf, raja’, taubat, zuhud, tawakal, syukur, sabar, ridha, fana, cinta, rindu, ikhlas, ketenangan, dan sebagainya secara jelas diterangkan dalam Al-Qur’an, antara lain tentang mahabbah cinta terdapat dalam Surah al-Maidah ayat 54, tentang taubat terdapat dalam surah at-Tahrim ayat 8, tentang tawakal terdapat dalam surat at-Tholaq ayat 3, tentang syukur terdapat dalam surat Ibrahim ayat 7, tentang sabar terdapat dalam surah al Mukmin ayat 55, tentang ridha terdapat dalam surah al-Maidah ayat 119 dan sebagainya. Selain itu, dalam Tasawuf terdapat beberapa praktik yang sesuai dengan ajaran Islam, contohnya berupa ibadah, dzikir, nilai-nilai yang terdapat dalam maqamat dan ahwal, penghormatan terhadap guru dan lain-lain. Sedangkan praktik-praktik dalam bentuk tradisi Islam dalam tasawuf adalah praktik keseluruhan tasawuf dalam bentuk individual, atau dalam bentuk tarekat yang berkelompok. Berkontemplasi atau membentuk komunitas tertentu kemudian mengadakan ritual atau ceremonial untuk be riyadhah pada tempat-tempat tertentu. Sedangkan implikasi terhadap kata tasawuf itu sendiri dalam ayat-ayat Al-Qur’an, dari akar kata yang paling tepat untuk kata tasawuf diatas maka hanya ada satu ayat yang menyinggung tentang itu, yaitu dalam QS. An-Nahl ayat 80. وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ سَكَنًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ جُلُودِ الْأَنْعَامِ بُيُوتًا تَسْتَخِفُّونَهَا يَوْمَ ظَعْنِكُمْ وَيَوْمَ إِقَامَتِكُمْ ۙ وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَىٰ حِينٍ Artinya “Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah kemah-kemah dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan membawa nya diwaktu kamu berjalan dan waktu kami bermukim dan dijadikan Nya pula dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan yang kamu pakai sampai waktu tertentu”. Dorongan Ayat di dalam Al-Quran untuk bersikap Sufi Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang mendorong umat manusia untuk bersikap sufi, seperti ayat yang memerintahkan agar manusia selalu menyucikan jiwanya As Syams 9, Al-A’la 14, Abasa 3 dan 7, ayat yang memandang rendah kehidupan duniawi dan menjelaskan bahwa kehidupan akhirat jauh lebih baik seperti dalam Al-An’am 32 dan 70, Al-Ankabut 64, Muhammad 36, Ad Dhuha 4. Selain itu Al-Qur’an juga mendeskripsikan sifat-sifat orang wara’ dan taqwa Al-Ahzab 35, ayat yang menjelaskan posisi mulia bagi yang melaksanakan shalat tahajjud Al-Isra’ 79 dan lain sebagainya. Ajaran-ajaran yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas merupakan esensi seorang muslim dalam pengamalan tasawuf sebagaimana yang tersebut belum dapat disebut sebagai seorang muslim sejati. Dengan begitu, maka dapat disimpulkan bahwa kata tasawuf secara tekstual tidak termaktub dalam Al-Qur’an, namun didalamnya sarat dengan tuntunan dan ajaran-ajaran moral yang memberi bimbingan yang mengarahkan tujuan hidup manusia. Dalam konteks itu, sudah barang tentu ilmu tasawuf memiliki dasar-dasar normatif yang jelas dalam Al-Qur’an. Ilmu tasawuf termasuk dalam ajaran agama Islam yang dikembangkan oleh para tasawuf berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata ”tashowwafa – yatashowwafu - tashowwuf” yang mengandung makna menjadi berbulu banyak, yakni menjadi ciri seorang sufi atau menyerupainya dengan ciri khas pakaian yang terbuat dari bulu domba atau bahwa ilmu tasawuf ini berasal dari berbagai pengaruh ajaran agama atau filsafat lain hingga pada akhirnya disesuaikan dengan konsep agama Juga 9 Macam Puasa yang Diharamkan dalam Ajaran Islam, Catat!Foto pengertian tasawuf Foto Orami Photo StockSebenarnya, ilmu tasawuf memiliki banyak arti yang dikemukakan dari beberapa ahli. Pengertian ilmu tasawuf menurut berbagai sudut pandang, yakni1. Syekh Abdul Qadir al-JailaniTasawuf adalah mensucikan hati dan melepaskan nafsu dari pangkalnya dengan khalwat, riya-dloh, taubah, dan Al-JunaidTasawuf artinya kegiatan membersihkan hati dari yang mengganggu perasaan manusia, memadamkan kelemahan, menjauhi keinginan hawa nafsu, mendekati hal-hal yang di ridai Allah, dan bergantung pada ilmu-ilmu itu juga memberikan nasihat kepada semua orang, memegang dengan erat janji dengan Allah dalam hal hakikat serta mengikuti contoh Rasulullah SAW dalam hal Syaikh Ibnu AjibahIlmu tasawuf adalah ilmu yang membawa seseorang agar bisa dekat bersama dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui penyucian rohani dan mempermanisnya dengan amal-amal tasawuf yang pertama dengan ilmu, yang kedua amal dan yang terakhirnya adalah karunia H. M. Amin SyukurTasawuf adalah latihan dengan kesungguhan riya-dloh, mujahadah untuk membersihkan hati, mempertinggi iman dan memperdalam aspek semua dilakukan dalam rangka mendekatkan diri manusia kepada Allah sehingga segala perhatiannya hanya tertuju kepada dari banyaknya pengertian tasawuf yang telah dinyatakan oleh para ahli, beberapa pandangan umum tasawuf dapat diartikan sebagai salah satu upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menyucikan ini dilakukan dengan cara menjauhi pengaruh kehidupan yang bersifat kesenangan duniawi dan akan memusatkan seluruh perhatiannya kepada Allah lebih menekankan pada aspek kerohanian daripada aspek karena para tokoh tasawuf lebih mempercayai keutamaan rohani dibandingkan dengan keutamaan jasad dan lebih percaya dunia spiritual dibandingkan dunia tokoh mempercayai bahwa dunia spiritual lebih lebih nyata dibandingkan dengan dunia jasmani, hingga segala yang menjadi tujuan akhir atau yang disebut Allah juga dianggap bersifat Juga Makna Tasamuh dalam Agama IslamDasar Ilmu TasawufFoto dasar ilmu tasawuf Orami Photo StockFoto Orami Photo StockSama seperti ajaran dalam agama Islam lainnya, ilmu tasawuf juga dilarang menyimpang dari Alquran. Berikut dasar-dasar ilmu tasawuf, yakni1. Surat Al-Baqarah Ayat 115“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.”2. Surat Al-Baqarah Ayat 186“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”Baca Juga 10 Adab Membaca Alquran yang Baik Menurut Islam3. Surat Qof Ayat 16“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”4. Surat Al-Kahfi Ayat 65“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”Baca Juga 11+ Keutamaan Membaca Alquran, Salah Satunya Mendapat Kedudukan Tinggi di Surga!Aliran Ilmu Tasawuf dan Bentuk AjarannyaFoto macam-macam ilmu tasawuf ShutterstockFoto Orami Photo StockAdapun macam-macam ilmu tasawuf, di antaranya1. Tasawuf Akhlaki SunniTasawuf akhlaki adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada teori-teori perilaku akhlak atau budi metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlak mazmumah perilaku buruk dan mewujudkan akhlak mahmudah perilaku baik.Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek karena itu, dalam tasawuf akhlaki mempunyai sistem pembinaan akhlak yang disusun sebagai berikutTakhalliMerupakan langkah pertama yang yang harus dilakukan oleh seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli bermakna terbukanya hijab sehingga tampak jelas nur ini sejalan dengan firman Allah SWT yang artinya, “Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan,” QS. Al-A'raf 143.2. Tasawuf FalsafiTasawuf falsafi adalah tasawuf yang didasarkan pada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakna mistik dan metafisis. Tasawuf ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus Juga 5+ Adab Menasehati Dalam Islam, Perlu Disimak!3. Tasawuf Syi'iTasawuf syi'i beranggapan bahwa manusia dapat meninggal dengan Tuhannya karena memiliki kesamaan esensi dengan Ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan atau kesamaan antara tasawuf falsafi dan tasawuf syi'i terkait pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman yang Tidak Sejalan dengan Ajaran IslamDari ketiga pembagian ilmu tasawuf itu, 2 di antara tasawuf falsafi dan syi'i tidak dibenarkan dalam Islam karena tidak sejalan dengan fitrah tetapi di luar tasawuf falsafi dan syi'i, ada salah satunya yang tumbuh dari asuhan iman, Islam, dan ihsan, yakni tasawuf ini cenderung berjalan berdasarkan ilmu dan amal yang benar sehingga dapat memperkaya perasaan manusia dengan pengabdian seikhlas-ikhlasnya kepada Allah tasawuf ini juga mendorong manusia untuk rela mengorbankan hidup dan matinya demi mendapatkan keridaan Allah penjelasan mengenai ilmu tasawuf, mulai dari pengertiannya, d Semoga bermanfaat. Natasya Fhonna BAB II PEMBAHASAN Al-qur’an dan hadits dalam tasawuf Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang didalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik akidah, syarah maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara konstektual-rohaniah. Jika dipahami secara lahiriah saja, ayat-ayat Al-Qur’an akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis. Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya nanti melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Ayat Al-Qur’an tentang tasawuf secara eksplisit Makna eksplisit adalah makna absolut yang langsung diacu oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat denotatif sebenarnya sebagai representasi dari bahasa kognitif. Eksplisit makna/maksud diajukan secara langsung dan jelas Makna eksplisit mengacu pada informasi, sedangkan makna implisit mengacu pada emosi. Dalam Al-Maidah ayat 54 يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا مَنۡ يَّرۡتَدَّ مِنۡكُمۡ عَنۡ دِيۡـنِهٖ فَسَوۡفَ يَاۡتِى اللّٰهُ بِقَوۡمٍ يُّحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّوۡنَهٗۤ ۙ اَذِلَّةٍ عَلَى الۡمُؤۡمِنِيۡنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الۡكٰفِرِيۡنَ يُجَاهِدُوۡنَ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوۡنَ لَوۡمَةَ لَاۤٮِٕمٍ‌ ؕ ذٰ لِكَ فَضۡلُ اللّٰهِ يُؤۡتِيۡهِ مَنۡ يَّشَآءُ‌ ؕ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيۡمٌ Artinya ; “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas pemberian-Nya, lagi Maha Mengetahui”. Berdasarkan dasar Al-Qur’an tentang tasawuf secara eksplisit, di atas memiliki ciri-ciri yaitu 1 Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah. 2 Bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir. Sifat ini merupakan hasil kecintaan kepada Allah. Seorang yang cinta kepada Allah akan menjadi seorang yang arif bijaksana yang akan selalu gembira dan senyum, bersikap lemah lembut karena jiwanya dipenuhi oleh sifat Allah yang paling dominan yaitu rahmat dan kasih sayang. Inilah yang menghasilkan rasa persaudaraan seagama, yang menjadikannya bersikap toleran terhadap kesalahannya, lemah lembut dalam sikap dan perilakunya termasuk ketika menegur atau menasehatinya. Sikap ini yang mengantar seorang muslim merasakan derita saudaranya, sehingga memenuhi kebutuhannya dan melapangkan kesulitannya. Sedang sikap tegas kepada orang-orang kafir, bukan berarti memusuhi pribadinya, atau memaksakan mereka memeluk islam, atau merusak tempat ibadah dan menghalangi mereka melaksanakan tuntutan agama dan kepercayaan mereka tetapi bersikap tegas, terhadap permusuhan mereka, atau upaya-upaya mereka melecehkan ajaran agama dan kaum muslimin. 3 Mereka berjihad di jalan Allah Jihad disini tidak terbatas dalam bentuk mengangkat senjata, tetapi termasuk upaya-upaya membela islam dan memperkaya peradabannya dengan lisan dan tulisan, sambil menjelaskan ajaran islam dan menangkal ide-ide yang bertentangan dengannya lebih-lebih yang memburukannya. 4 Tidak takut kepada celaan pencela Mereka tidak takut dicela bahwa mereka tidak toleran misalnya jika mereka bersikap tegas terhadap orang kafir yang memusuhi islam, tidak juga khawatir dituduh fanatik atau fundamentalis jika menegakkan ukhwah islamiyah. Bahwa kemungkinan manusia dapat saling mencintai mahabbah dengan Tuhan. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an dalam surah al-Maidah ayat 54 yakni يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا مَنۡ يَّرۡتَدَّ مِنۡكُمۡ عَنۡ دِيۡـنِهٖ فَسَوۡفَ يَاۡتِى اللّٰهُ بِقَوۡمٍ يُّحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّوۡنَهٗۤ ۙ اَذِلَّةٍ عَلَى الۡمُؤۡمِنِيۡنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الۡكٰفِرِيۡنَ يُجَاهِدُوۡنَ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوۡنَ لَوۡمَةَ لَاۤٮِٕمٍ‌ ؕ ذٰ لِكَ فَضۡلُ اللّٰهِ يُؤۡتِيۡهِ مَنۡ يَّشَآءُ‌ ؕ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيۡمٌ Artinya ”Hai orang-orang yang beriman barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang berjihad dijalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha halus pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. Dari ayat diatas para ahli sufi menafsirkannya bahwa akan datang suatu kaum yang dicintai Allah dan mereka juga mencintai Allah, sebagaimana yang tercantum didalam Tafsir al-Misbah karangan Quraish Shihab bahwa Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah. Cinta Allah kepada hamba-Nya dipahami para mufassir dalam arti limpahan kebaikan dan anugerah-Nya. Cinta Allah dan karunianya tidak terbatas dan cinta manusia kepada Allah bertingkat-bertingkat, tetapi yang jelas adalah cinta kepada-Nya merupakan dasar dan prinsip perjalanan menuju Allah, sehingga semua peringkat maqam dapat mengalami kehancuran kecuali cinta. Cinta tidak bisa hancur dalam keadaan apapun selama jalan menuju Allah tetap ditelusuri. Bahwa Allah memerintahkan manusia agar senantiasa bertaubat membersihkan diri dan memohan ampunan kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an surah at-Tahrim ayat 8 yaitu يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِىمِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ يَوْمَ لَا يُخْزِى ٱللَّهُ ٱلنَّبِىَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ ۖ نُورُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَٰنِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَٱغْفِرْ لَنَآ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ Artinya ”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beriman bersama dengan dia ; sedang cahaya mereka memancar dihadapan dan disebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan,”Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami ; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang bertasawuf harus bertaubat lebih dulu untuk menghapus segala kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya. Para sufi berpendapat bahwa untuk mencari keridhaan Allah harus bertaubat lebih dahulu dan meninggalkan segala yang menyangkut dengan kebendaan dunia dan menghiasinya dengan akhlak mahmudah, dengan demikian kita bisa menuju keridhaan Allah SWT. Dalam tasawuf kata taubat berasal dari kata taaba-yatubu-taubatan yang artinya kembali. Sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dari kitab Manaajil Al-saairin bahwa taubat adalah maqam yang kedua. Sedangkan maqam yang pertama adalah yaqzhah atau kesadaran. Dalam yaqzhah itu, kita tiba-tiba disadarkan oleh Allah SWT akan keburukan-keburukan yang pernah kita lakukan selama kejauhan kita dari Allah SWT. Bisa jadi kita disadarkan dengan satu musibah yang menimpa kita atau nasihat orang lain dan perenungan kita sendiri. Allah mempunyai cara untuk menyadarkan hamba-Nya. Tetapi dalam tasawuf bahkan menurut Al-Qur’an orang lebih banyak disadarkan oleh musibah.[7] Allah juga menegaskan dalam Al-Qur’an tentang pertemuan manusia dengan Allah sebagaimana yang tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 115 yaitu وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ Artinya ”Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.” Bagi kaum sufi ayat tersebut mengandung arti bahwa dimana Tuhan ada, di situ pula Tuhan dapat dijumpai. Maksudnya kapanpun dan dimanapun kita berada Allah selalu bersama kita karena dzat-Nya tidak dibatasi ruang dan waktu dan tidak pula dibatasi oleh tempat. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang kedekatan manusia dengan-Nya seperti yang tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 186 yaitu وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ Artinya ”Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat, Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia panggil Aku.” Dalam surah Qaf ayat 16 juga disebutkan yaitu وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِۦ نَفْسُهُۥ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ ٱلْوَرِيدِ Artinya “Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkannya kepadanya, Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri.” Berdasarkan ayat tersebut kebanyakan dikalangan para sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan, orang tidak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Maksudnya kita harus intropeksi diri memuhasabahi diri kita atas apa yang telah kita lakukan dan kita perbuat dan sejauhmana kita mensyukuri anugerah Allah kepada kita. Ayat Al-Qur’an Tentang Tasawuf Secara Implisit Makna implisit adalah makna universal yang disembunyikan oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat konotatif kias sebagai representasi dari bahasa emotif. Implisit makna/maksud diajukan tidak secara langsung dan sembunyi-sembunyi. Ada pun ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan tasawuf secara inplisit dapat dilihat dari tingkatan maqam dan keadaan ahwal para sufi yaitu Tingkatan Zuhud yakni tercantum dalam surah An-Nisaa’ ayat 77 yaitu أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوٓا۟ أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ ٱلْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ ٱلنَّاسَ كَخَشْيَةِ ٱللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً ۚ وَقَالُوا۟ رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا ٱلْقِتَالَ لَوْلَآ أَخَّرْتَنَآ إِلَىٰٓ أَجَلٍ قَرِيبٍ ۗ قُلْ مَتَٰعُ ٱلدُّنْيَا قَلِيلٌ وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا Artinya “Katakanlah kesenangan didunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa…” Tingkatan Tawakkal yaitu dalam surah At-Thalak ayat 3 yaitu وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ Artinya “Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah mencukupkan keperluannya.”[14] Tingkatan Syukur dalam Ibrahim ayat 7 yaitu وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ Artinya “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti akan Kami menambahkan nikmat kepadamu.”[15] Tingkat Sabar berlandaskan Al-Baqarah ayat 155 yaitu وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ Artinya “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” QS Al-Baqoroh155. Tingkatan Ridha berdasarkan Al-Bayinah ayat 8 yaitu جَزَآؤُهُمۡ عِنۡدَ رَبِّهِمۡ جَنّٰتُ عَدۡنٍ تَجۡرِىۡ مِنۡ تَحۡتِهَا الۡاَنۡهٰرُ خٰلِدِيۡنَ فِيۡهَاۤ اَبَدًا ‌ؕ رَضِىَ اللّٰهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُوۡا عَنۡهُ ‌ؕ ذٰلِكَ لِمَنۡ خَشِىَ رَبَّهٗ Artinya “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ’Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” Hadist Tentang Tasawuf Secara Eksplisit Dalam hadis juga banyak dijumpai keterangan-keterangan yang berbicara tentang kehidupan rohaniah manusia. Di antaranya adalah sebagai berikut ”Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah Aku pendengarnya yang dia pakai untuk mendengar dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha ; maka dengan-Ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berpikir, meninju dan berpikir.” Dari hadis ini dapat dipahami bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu. Diri manusia dapat lebur dalam diri Tuhan yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana, yakni fana’-nya makhluk sebagai yang mencintai kepada Tuhan seperti yang dicintainya. Fana adalah menghilangnya daripada pengenalan ghair, baqa adalah pengetahuan Tuhan, yang di dapat oleh seorang yang sudah menghilangnya pengetahuan tentang ghair. Dalam hal ini nafs kita dalam jalan fana ubudiyyah yakni penghambaan, ibadah dan Tuhan dalam jalan baqaa rububiyyah yakni penguasaan. عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ Artinya “Dari Abi Yahya Suhaib bin Sinan RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda sangat mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sesungguhnya segala keadaannya untuknya baik sekali, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi orang mukmin. Kalau mendapat kenikmatan, ia bersyukur, maka bersyukur itu lebih baik baginya. Dan kalau menderita kesusahan ia sabar, maka kesabaran itu lebih baik baginya. HR. Muslim. Hadist tentang tasawuf secara inplisit Dari Umar bin Khattab ra., katanya Aku mendengar Rasul Allah SAW bersabda ”Semua amal perbuatan itu hanyalah dinilai menurut masing-masing niatnya, dan setiap orang hanyalah menurut apa yang diniatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya itu kepada keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk keduniaan atau wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu pun diberi penilaian untuk tujuan apa ia hijrah tadi”. Al-Bukhari. Dari Ibnu Mas’ud ra. Dari Rasul Allah, bersabda sesungguhnya jujur itu mendorong untuk beramal saleh, dan sesungguhnya amal saleh itu menunjukkan jalan ke surga. Dan seorang yang benar-benar/terus-menerus berbuat jujur sehingga menjiwai dan berbudi, ditetapkan disisi Allah sebagai ahli jujur. Dan sesungguhnya dusta itu mendorong untuk berbuat keji dan perbuatan keji itu menyampaikan ke neraka. Dan seorang yang benar-benar/terus-menerus berdusta, ditetapkan disisi Allah sebagai ahli dusta. Mutafaq Alaih. Dalam Hadist Qudsi juga dijelaskan yaitu “Tidaklah para hamba yang beribadah kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku fardhukan kepadanya. Dan hamba yang beribadah kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunat, maka Aku juga mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatan yang ia gunakan untuk melihat, tangan yang ia pakai memegang dan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, maka Aku akan melindunginya”.[20] Hadis ini menjelaskan bahwa sesungguhnya seorang hamba mampu meninggalkan syahwat dan tenggelam dalam ketaatan, sehingga ia hanya menggunakan anggota badannya sesuai dengan tujuan penciptaannya, sebagai taufik dan hidayah Allah SWT. Hadis ini memberi pengertian, bahwa dasar kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah melalui perbuatan-perbuatan yang sunat. Oleh karena itu, selama seorang hamba beribadah kepada-Nya melalui ibadah-ibadah sunat hingga sampai pada tingkatan cinta kepada-Nya, maka pada saat itu dia mampu tenggelam dengan melihat kesucian Allah, tidak melihat sesuatupun kecuali Allah berada di sisinya. Pengalaman semacam ini merupakan derajat terakhir bagi orang-orang yang menuju akhirat dan jalan pertama bagi orang yang ingin sampai kepada Allah. Dengan mengikuti sunah tercapailah ma’rifat, dengan melakukan perbuatan fardhu tercapailah qurbah dekat dengan Allah dan dengan selalu melaksanakan perbuatan sunat tercapailah mahabbah Allah.[21] Dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah sufi. Nabi Muhammad telah mengasingkan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang Arab tengah tenggelam didalamnya, seperti dalam peraktek perdagangan dengan prinsip menghalalkan segala cara.[22] Perilaku Rasul dan sahabat dalam kajian tasawuf Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan perilaku nabi Muhammad SAW. Peristiwa dan Perilaku Hidup Nabi. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat mengasingkan diri di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan disana nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi SAW digua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalawat. Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika melakukan Isra Mikraj. Di dalam Isra Mikraj itu nabi SAW telah sampai ke Sidratulmuntaha tempat terakhir yang dicapai nabi ketika mikraj di langit ke tujuh, bahkan telah sampai kehadiran Ilahi dan sempat berdialog dgn Allah. Dialog ini terjadi berulang kali, dimulai ketika nabi SAW menerima perintah dari Allah SWT tentang kewajiban shalat lima puluh kali dalam sehari semalam. Atas usul nabi Musa AS, Nabi Muhammad SAW memohon agar jumlahnya diringankan dengan alasan umatnya nanti tidak akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi Muhammad SAW terus berdialog dengan Allah SWT. Keadaan demikian merupakan benih yang menumbuhkan sufisme dikemudian hari. Perikehidupan sirah nabi Muhammad SAW juga merupakan benih-benih tasawuf yaitu pribadi nabi SAW yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona dengan kemewahan dunia. Dalam salah satu Doanya ia memohon ”Wahai Allah, Hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin” Ibnu Majah dan al-Hakim. “Pada suatu waktu Nabi SAW datang kerumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq. Ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Keadaan ini diterimanya dengan sabar, lalu ia menahan lapar dengan berpuasa” Dawud, at-Tirmizi dan an-Nasa-i . Ibadah Nabi Muhammad SAW. Ibadah nabi SAW juga sebagai cikal bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam nabi SAW mengerjakan shalat malam, didalam salat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaat salatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya namun beliau tetap melaksanakan salat sampai azan Bilal bin Rabah terdengar diwaktu subuh. Melihat nabi SAW demikian tekun melakukan salat, Aisyah bertanya ”Wahai Junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang diampuni Allah, mengapa engkau masih terlalu banyak melakukan salat?” nabi SAW menjawab” Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur” dan Muslim. Selain banyak salat nabi SAW banyak berzikir. Beliau berkata “Sesungguhnya saya meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali” Dalam hadis lain dikatakan bahwa Nabi SAW meminta ampun setiap hari sebanyak seratus kali Selain itu nabi SAW banyak pula melakukan iktikaf dalam mesjid terutama dalam bulan Ramadan. Akhlak Nabi Muhammad SAW. Akhlak nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tidak ada bandingannya. Akhlak nabi SAW bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang artinya “Dan sesungguhnya kami Muhammad benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Qalam4 ketika Aisyah ditanya tentang Akhlak Nabi SAW, Beliau menjawab Akhlaknya adalah Al-Qur’an” dan Muslim. Tingkah laku nabi tercermin dalam kandungan Al-Qur’an sepenuhnya. Dalam diri nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi SAW selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah berputus asa dalam berusaha. Oleh karena itu, Nabi SAW merupakan tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya”Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”. Empat Sahabat Nabi Muhammad SAW. Sumber lain yang menjadi sumber acuan oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh karena setiap orang yang meneliti kehidupan rohani dalam islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi diabad-abad sesudahnya. Kehidupan para sahabat dijadikan acuan oleh para sufi karena para sahabat sebagai murid langsung Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan ucapan mereka senantiasa mengikuti kehidupan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan Nabi SAW, kecuali hal-hal tertentu yang khusus bagi Nabi SAW. Setidaknya kehidupan para sahabat adalah kehidupan yang paling mirip dengan kehidupan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW karena mereka menyaksikan langsung apa yang diperbuat dan dituturkan oleh Nabi SAW. Oleh karena itu Al-Qur’an memuji mereka ” Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk islam diantara orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. Taubah100. Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi menulis didalam bukunya, Kitab al-Luma`, tentang ucapan Abi Utbah al-Hilwani salah seorang tabiin tentang kehidupan para sahabat” Maukah saya beritahukan kepadamu tentang kehidupan para sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu kepada Allah lebih mereka sukai dari pada kehidupan duniawi. Kedua, mereka tidak takut terhadap musuh, baik musuh itu sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal yang duniawi, dan mereka demikian percaya pada rezeki Allah SWT.” Adapun kehidupan keempat sahabat Nabi SAW yang dijadikan panutan para sufi secara rinci adalah sbb Abu Bakar as-Siddiq. Pada mulanya ia adalah salah seorang Kuraisy yang kaya. Setelah masuk islam, ia menjadi orang yang sangat sederhana. Ketika menghadapi perang Tabuk, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, Siapa yang bersedia memberikan harta bendanya dijalan Allah SWT. Abu Bakar lah yang pertama menjawab”Saya ya Rasulullah.” Akhirnya Abu Bakar memberikan seluruh harta bendanya untuk jalan Allah SWT. Melihat demikian, Nabi SAW bertanya kepada ”Apalagi yang tinggal untukmu wahai Abu Bakar?” ia menjawab”Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya.” Diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu Abu Bakar selalu dalam keadaan lapar. Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kemesjid. Disana Nabi SAW bertemu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia bertanya”Kenapa anda berdua sudah ada di mesjid?” Kedua sahabat itu menjawab”Karena menghibur lapar.” Diceritakan pula bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai pakaian. Ia berkata”Jika seorang hamba begitu dipesonakan oleh hiasan dunia, Allah membencinya sampai ia meninggalkan perhiasan itu.” Oleh karena itu Abu Bakar memilih takwa sebagai ”pakaiannya.” Ia menghiasi dirinya dengan sifat-sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah dan zikir. Umar bin Khattab Umar bin Khattab yang terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, sehingga Rasulullah SAW berkata” Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Ia terkenal dengan kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan, pada suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan. Diceritakan, Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khatab, ketika masih kecil bermain dengan anak-anak yang lain. Anak-anak itu semua mengejek Abdullah karena pakaian yang dipakainya penuh dengan tambalan. Hal ini disampaikannya kepada ayahnya yang ketika itu menjabat sebagai khalifah. Umar merasa sedih karena pada saat itu tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian anaknya. Oleh karena itu ia membuat surat kepada pegawai Baitulmal Pembendaharaan Negara diminta dipinjami uang dan pada bulan depan akan dibayar dengan jalan memotong gajinya. Pegawai Baitulmal menjawab surat itu dengan mengajukan suatu pertanyaan, apakah Umar yakin umurnya akan sampai bulan depan. Maka dengan perasaan terharu dengan diiringi derai air mata , Umar menulis lagi sepucuk surat kepada pegawai Baitul Mal bahwa ia tidak lagi meminjam uang karena tidak yakin umurnya sampai bulan yang akan datang. Disebutkan dalam buku-buku tasawuf dan biografinya, Umar menghabiskan malamnya beribadah. Hal demikian dilakukan untuk mengibangi waktu siangnya yang banyak disita untuk urusan kepentingan umat. Ia merasa bahwa pada waktu malamlah ia mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadapkan hati dan wajahnya kepada Allah SWT. Usman bin Affan Usman bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Usman adalah seorang yang zuhud, tawaduk merendahkan diri dihadapan Allah SWT, banyak mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat Allah SWT, dan memiliki akhlak yang terpuji. Diriwayatkan ketika menghadapi Perang Tabuk, sementara kaum muslimin sedang menghadapi paceklik, Usman memberikan bantuan yang besar berupa kendaraan dan perbekalan tentara. Diriwayatkan pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik seorang Yahudi untuk kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga tersebut tidak boleh diambil oleh kaum muslimin. Dimasa pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat yang mengadu kepada khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup mereka. Seandainya rakyat tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut nyawa. Pada saat paceklik ini Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu ekor unta. Tentang ibadahnya, diriwayatkan bahwa usman terbunuh ketika sedang membaca Al-Qur’an. Tebasan pedang para pemberontak mengenainya ketika sedang membaca surah Al-Baqarah ayat 137 yang artinya…”Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ketika itu ia tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya, bahkan tidak mengijinkan orang mendekatinya. Ketika ia rebah berlumur darah, mushaf kumpulan lembaran Al-Qur’an itu masih tetap berada ditangannya. Ali bin Abi Talib Ali bin Abi Talib yang tidak kurang pula keteladanannya dalam dunia kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi mereka Ali merupakan guru kerohanian yang utama. Ali mendapat warisan khusus tentang ini dari Nabi SAW. Abu Ali ar-Ruzbari , seorang tokoh sufi, mengatakan bahwa Ali dianugerahi Ilmu Laduni. Ilmu itu, sebelumnya, secara khusus diberikan Allah SWT kepada Nabi Khaidir AS, seperti firmannya yang artinya…”dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” Kahfi65. Kezuhudan dan kerendahan hati Ali terlihat pada kehidupannya yang sederhana. Ia tidak malu memakai pakaian yang bertambal, bahkan ia sendiri yang menambal pakiannya yang robek. Suatu waktu ia tengah menjinjing daging di Pasar, lalu orang menyapanya”Apakah tuan tidak malu memapa daging itu ya Amirulmukminin Khalifah?” Kemudian dijawabnya”Yang saya bawa ini adalah barang halal, kenapa saya harus malu?”. Abu Nasr As-Sarraj at-Tusi berkomentar tentang Ali. Katanya”Di antara para sahabat Rasulullah SAW Amirulmukminin Ali bin Abi Talib memiliki keistimewahan tersendiri dengan pengertian-pengertiannya yang agung, isyarat-isyaratnya yang halus, kata-katanya yang unik, uraian dan ungkapannya tentang tauhid, makrifat, iman, ilmu, hal-hal yang luhur, dan sebagainya yang menjadi pegangan serta teladan para sufi. Kehidupan Para Ahl as-Suffah. Selain keempat khalifah di atas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para Ahl as-Suffah. Mereka ini tinggal di Mesjid Nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam memegang akidah, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diantara Ahl as-Suffah itu ialah Abu Hurairah, Abu Zar al-Giffari, Salman al-Farisi, Mu’az bin Jabal, Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman. Abu Nu’aim al-Isfahani, penulis tasawuf w. 430/1038 menggambarkan sifat Ahl as-Suffah di dalam bukunya Hilyat al-Aulia`Permata para wali yang artinya Mereka adalah kelompok yang terjaga dari kecendrungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban dan menjadi panutan kaum miskin yang menjauhi keduniaan. Mereka tidak memiliki keluarga dan harta benda. Bahkan pekerjaan dagang ataupun peristiwa yang berlangsung disekitar mereka tidak lah melalaikan mereka dari mengingat Allah SWT. Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan material dan mereka tidak digembirakan kecuali oleh suatu yang mereka tuju. Diantara Ahl as-Suffah itu ada yang mempunyai keistimewahan sendiri. Hal ini memang diwariskan oleh Rasulullah SAW kepada mereka seperti Huzaifah bin Yaman yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tentang ciri-ciri orang Munafik. Jika ia berbicara tentang orang munafik, para sahabat yang lain senantiasa ingin mendengarkannya dan ingin mendapatkan ilmu yang belum diperolehnya dari Nabi SAW. Umar bin Khattab pernah tercengang mendengar uraian Huzaifah tentang ciri-ciri orang munafik. Adapun Abu Zar al-Giffarri adalah seorang Ahl as-Suffah termasyur yang bersifat sosial. Ia tampil sebagai prototipe tokoh pertama fakir sejati. Abu Zar tidak pernah memiliki apa-apa, tetapi ia sepenuhnya milik Allah SWT dan akan menikmati hartanya yang abadi. Apabila ia diberikan sesuatu berupa materi, maka materi tersebut dibagi-bagi kepada para fakir miskin. Begitu juga Salman Al Farisi salah seorang Ahli Suffah yang hidup sangat sederhana sampai akhir hanyatnya. Beliau merupakan salah satu Ahli Silsilah dari Tarekat Naqsyabandi yang jalur keguruan bersambung kepada Saidina Abu Bakar Siddiq sampai kepada Rasulullah. BAB III PENUTUP Dari uraian di atas maka penulis dapat menarik berbagai poin kesimpulan yang merupakan intisari dari pembahasan ini, yaitu al-qur’an dan hadits Al-Qur’an merupakan dasar-dasar para sufi dalam bertasawuf kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan maqam dan keadaan ahwal. Selain Al-Qur’an dan Hadis juga merupakan landasan dalam tasawuf sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Gua Hira yakni tafakkur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid, Beliau hidup sangat sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak makan dan minum kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT. Dikalangan para sahabat juga banyak yang mempraktekkan tasawuf sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk menjadi seorang sufi kita harus bisa meninggalkan segala yang menyangkut dengan sifat kebendaan dan senantiasa bertaubat serta mendekatkan diri kepada-Nya untuk mencapai ridha Allah SWT. B. Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan perilaku nabi Muhammad SAW. Peristiwa dan Perilaku Hidup Nabi. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat mengasingkan diri di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan disana nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. PUSTAKA Anwar, Rosihon dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2006. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung Diponegoro, 2005. Rahmat, Jalaluddin. Meraih Cinta Ilahi ; Pencerahan Sufistik, BandungRemaja Rosdakarya, 2001. Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha, Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta Mitra Pustaka, 2002. Shayk Ibrahim Gazuri Ilahi, Anal Haqq, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1996. Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah, Jakarta Lentera Hati, 2001. [1] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2006, Oleh NASHIH NASHRULLAHBerceramah merupakan satu dari sekian aktivitas berdakwah yang mulia menyampaikan pesan dan menyebarkan syiar di hadapan ratusan, ribuan, bahkan jutaan umat manusia. Ada misi berharga di sana. Namun, dinamika dunia dakwah pun berkembang. Ini beriringan dengan perkembangan teknologi dan lain sebagainya. Tak sedikit oknum pendakwah pada akhirnya terjebak dalam logika materi. Berdakwah pun sekaligus berbisnis. Seperti memasang tarif tertentu untuk jasa ceramahnya. Bolehkah memasang tarif untuk jalan dakwah? Eks ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI alm Prof Hasanuddin AF pernah mengatakan, dari segi hukum Islam, pada prinsipnya diperbolehkan menerima imbalan jasa atas ceramah atau mengajarkan ilmu agama lainnya, seperti pengajaran Alquran. Akan tetapi, ia menggarisbawahi bahwa imbalan tersebut bukan tujuan utama. Dan, agar tarif tersebut tetap tidak melampaui batas kewajaran. Motif paling mendasar kala berdakwah adalah niat untuk Allah SWT semata. Selain itu, memberlakukan tarif berdakwah justru akan menghilangkan pahala dakwah itu sendiri. “Jika niatnya bisnis dan dibisniskan, itu tidak boleh,” ujarnya. Ia pun mengutip hadis riwayat Umar bin Khattab tentang pentingnya meluruskan niat bahwa segala urusan akan dikembalikan pada sejauh manakah niat dan motif yang bersangkutan. Bila sebatas dunia maka pahala tak ia dapat. Sebab, hanya dunia yang ia peroleh. Ia pun mengimbau para pendakwah agar tidak mematok tarif. Tindakan pemasangan tarif justru berpotensi merusak citra dakwah tersebut. Ia mengusulkan agar sanksi sosial dijatuhkan pada oknum-oknum pematok tarif dakwah. “Jangan diundang lagi,” katanya. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Prof Syamsul Anwar mengingatkan para pendakwah agar tetap ikhlas dan tidak memasang tarif. Meski ia menegaskan tidak ada larangan untuk memasang tarif untuk dakwah, tetapi hendaknya para dai menghindari “komersialisasi” tersebut. Menurut dia, pemasangan tarif kaitannya dengan kebiasaan yang berlaku. Semestinya, iltizam dini atau ketaatan terhadap syariat, dengan tidak mengedepankan tarif, lebih ditekankan oleh yang bersangkutan. Kalaupun hendak memasang tarif, sewajarnya saja. “Masyarakat punya penilaian tersendiri,” katanya. Komersialisasi Ketua Lajnah Bahtshul Masail Nahdlatul Ulama LBM-NU KH Zulfa Mustofa menyatakan, menurut perspektif agama, secara etika, seorang ulama tidak boleh meminta, bahkan memasang tarif. Memang, mayoritas ulama memperbolehkan penerimaan upah dari pengajaran ilmu agama, tetapi tidak dengan cara mematok tarif. “Tidak pantas meminta apa pun alasannya,” ujar alumnus Pesantren Maslakul Huda, Pati, Jawa Tengah, asuhan KH Sahal Mahfuz tersebut. Menurut dia, “komersialisasi” itu tak terlepas dari pengaruh media, terutama televisi. Tingkat rating akan dijadikan alasan untuk meningkatkan “tarif” dakwah seseorang. Padahal, sikap semacam ini bisa mengancam kekekalan pahala. Ia pun teringat nasihat sang guru, KH Sahal Mahfuz, yang berpesan, “Allaim majjanan kama ullimta majjanan” ajarkanlah ilmu secara ikhlas, sebagaimana engkau dididik secara gratis. Tak lupa, ia sampaikan ajakan agar para ulama mengingatkan oknum pendakwah mana pun yang mematok tarif. Fikih klasik Dalam kajian fikih klasik, rujukan persoalan ini bermuara pada topik pengambilan upah atas pengajaran Alquran. Menurut kelompok yang pertama, tidak boleh menerima atau “membisniskan” pengajaran ilmu agama, tak terkecuali Alquran. Opsi ini berlaku di sejumlah mazhab, antara lain Hanbali di salah satu riwayat, Zaidiyyah, dan Ibadhiyyah. Sedangkan, Imamiyyah melihat hukumnya makruh selama ada syarat sejak awal. Pihak ini berdalih bahwa mengajarkan ilmu syariah dan Alquran merupakan bakti yang tak berpamrih, hanya Allah SWT-lah yang akan membalasnya. Kebutuhan akan pelajaran ilmu agama dan Alquran sama pentingnya dengan urgensi mengajarkan shalat. Berbagi ilmu shalat merupakan hal mendasar, tak boleh “diperjualbelikan”. Ini ditegaskan di banyak ayat, seperti surah an-Najm ayat 39, al-Qalam ayat 46, dan Yusuf ayat 104. Pandangan ini diperkuat oleh hadis riwayat Ubay bin Ka’ab. Dalam sabda itu, Rasulullah SAW memperingatkan seorang sahabat yang menerima hadiah atas pengajaran Alquran yang dilakukannya. “Jika engkau ambil maka sejatinya engkau telah mengambil satu kurung api neraka,” titah Rasul. Riwayat Ubadah bin as-Shamit menegaskan larangan senada. Secara jelas, larangan itu dipertegas pula dalam hadis Abdurrahman bin Syibil. “Jangan engkau mencari makan darinya dan jangan pula mencari keuntungan,” sabda Nabi. Tak sepakat dengan kelompok yang pertama, menurut kubu yang kedua, hukum mengambil upah dari mengajarkan ilmu agama atau Alquran ialah boleh dan tak jadi soal selama tidak mematok harga tertentu. Pemasangan tarif terhadap aktivitas ini akan menghilangkan pahala dan keutamaannya. Pendapat itu merupakan opsi yang didukung oleh sejumlah ulama mazhab, yaitu generasi kedua dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali menurut salah satu riwayat, dan Zhahiri. Dalil yang dijadikan dasar oleh kubu kedua yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas. Hadis ini mengisahkan izin Rasulullah atas upah seorang sahabat yang telah membacakan ruqyah untuk warga yang terkena sengatan ular. “Sesungguhnya upah yang paling pantas bagimu ialah upah atas pembacaan dan pengajaran Alquran,” sabda Rasul. Sesungguhnya upah yang paling pantas bagimu ialah upah atas pembacaan dan pengajaran Alquran Argumentasi selanjutnya ialah kisah yang dinukilkan di riwayat Sahal bin Sa’ad. Rasul mengabulkan pernikahan sahabatnya dengan mahar bacaan Alquran. Tak sedikit generasi salaf yang memberikan upah bagi para pengajar Alquran, seperti Umar bin Khattab. Sosok berjuluk al-Faruq itu memberi upah dari kocek pribadinya kepada tiga pengajar Alquran di Madinah. Sa’ad bin Abi Waqash dan Amar bin Yasar memiliki tradisi mengupah para pembaca Alquran selama Ramadhan. Imam Malik pun pernah menegaskan, tak jadi soal menerima upah atas pengajaran ilmu agama, termasuk Alquran. “Aku belum pernah mendengar satu pun ulama yang melarangnya,” kata pencetus mazhab Maliki itu. Dilansir dari Harian Republika Edisi 23 Agustus 2013

ayat alquran tentang tasawuf